Rabu, 29 September 2010

MARAH DAN KASIH SAYANG

Marah dan kasih saying adalah dua hal yang amat berbeda. Ibaratnya api dengan air, kondisi ini mempunyai dampak yang berlawan kepada orang yang menerima. Menjadi orangtua yang baik memang bukan pekerjaan yang gampang, salah satunya bagaimana mengendalikan emosi untuk tidak marah kepada anak. Tidak marah bukan berarti membiarkan anak sehingga berkembang menjadi manja dan kolokan.

Dari pengertian diatas, saya sebagai penulis ingin bercerita yg bersangkutan dengan pengertian diatas.

Wais, begitulah bocah gendut 5 tahun itu di panggil oleh teman-temannya. Nama aslinya cukup bagus yakni Ahmad Faiz, yang artinya kemenangan atau pemenang. Entah karena namanya, amak tetangga sebelah rumahku itu dikenal anak yang bandel dan selalu ingin menang sendiri oleh teman sepermainannya. Seringkali ibnu, adikku, dibuat nangis karena mobil-mobilannya direbut saat mereka bermain bersama.

Suatu ketika, wais menangis tersedu-sedu tidak karuan. Baju putih bersihnya penuh belepotan tanah, suara tangisnya membahana saat cubitan sang ibu berkali-kali mengenai pantatnya. “kan sudah d’bilang, jangan main hujan-hujanan?” demikian teriak ibu membantak. “Rasain sekarang jadi sakit kan!” Dengan mata melotot si ibu tidak henti-hentinya mengomel, diiringi tangis sang anak yang semakin menjadi-jadi.

Apakah gerangan yang telah dilakukan bocah itu? Rupanya sepele saja. Sebelumnya, sang ibu sudah melarang sang anak untuk bermain hujan-hujanan, ternyata secara sembunyi-sembunyi Wais barmain di samping rumah yang membuat dia terjerembab kedalam selokan. Hujan memang telah reda, ketika masuk dalam rumah didapatinya sang anak dengan kondisi lusuh dan badan demam tinggi. Yahg, namanya juga anak-anak, keinginan yang lumrah buat seorang anak apabila selalu ingin bermain. Lantas pantaskah ibu memarahinya secara berlebihan apalagi dalam kondisi sakit seperti itu?.

Bandingkan dengan teladan yang diberikan seorang ibu pada sebuah iklan deterjen di TV, “kalu tidak ada noda, yaa tidak belajar!” atau “Berani kotor itu baik!” demikian ujar si ibu menanggapi tngkah anaknya yang menyebabkan bajunya kotor semua. Tidak ada rasa marah meskipun aktivitaas anak tersebut selalu merepotkan si ibu. Demikianlah seharusnya ibu wais, bukankah alangkah lebih baik menenangkan hati si anak yang demam supaya lekas sembuh?

Marilah kita ambil hikmah yang mendalam dari contoh peristiwa diatas, ingatlah bahwa perasaan anak yang tergores karena amaran Anda tidak akan hilang begitu saja. Bahkan bias jadi kemarahan anda atas kesalahan yang ia perbuat justru membuat anak menjadi pasif, takut mencoba dan takiut melakukan kesalahan kembali. Bias jadi, anak yang dipukul karena salah, ia hanya merasa sakit karena dipukul, tanpa tahu kenapa dipukul. Akibatnya, kalaupun ia tidak lagi melakukan tindakan “nakal”-nya, itu bukan karena ia menyadari kenakalannya, tetapi lebih pada rasa takut akan dipukul lagi.

Cobalah renungkan, kenapa anda tidak marah dengan sepenuh kasih saying? Bukan berarti Anda meniadakan marah dalam mendidik anak. Ketika Anda marah, haruslah dalam kondisi bahwa kesalahan tersebut pantas untuk dimarahi, tentunya dengan cara yang tidak bakal menimbulkan luka membekas di hati seorang anak. Ingatlah mereka masih anak- anak, bukan orang dewasa. Jadi selalu bersabar dalam menghadapi tingka laku pola anak adalah sikap yang terbaik.

Anak adalah amanah yangt dititipkan Allah kepada orangtua. Mereka bukanlah anak ikan, yang begitu lahir langsung bias berenang. Mereka juga bukan anak ayam, yang begitu menetas langsung bias jalan. Mereka juga manusia, yang memerlukan proses belajar untuk setiap tahap perkembangannya. Karenanya selalulah ingat-ingat pesan iklan, “Kalau tidak ada noda, ya tidak belajar!”.